Friday, August 22, 2008

Soal Panggung Dan Musik (Oleh Iwan Fals)

Sebuah pementasan bagi aku sangat penting. Di atas panggung, aku menyanyikan lagu-lagu. Dengan lagu –lagu yang kunyanyikan sekaligus mengeluarkan perasaan. Entah itu kemarahan, kesedihan, kegembiraan atau apa saja. Karena itu ekspresi lagu. Salah satu tugas aku adalah menghidupkan lagu. Nah ekspresi itu, perasaan-perasaan itu, jika tidak dikeluarkan, akan menjadi sumber kegelisahan yang amat dasyat. Karena kegelisahan di dalam jiwa itu laksana sampah. Sesuatu yang mengganjal yang harus dikeluarkan. Harus segera dijawab. Harus segera dicari solusinya. Bayangkan saja sebuah kota dengan sampah yang menumpuk, tapi tak ada pembuangan yang benar. Tak ada penimbunan yang tepat. Kalau dibiarkan menggunung,lama-lama membusuk dan mengganggu pernapasan warganya.

Memang sih jika sampah itu sudah membusuk bisa menjadi pupuk Tapi seyogyanya proses pembusukan itu tidak terjadi di dalam kota itu sendiri. Tapi di luar. Kegelisahan di dalam jiwa juga segera dikeluarkan dengan pembuangan yang benar. Dengan cara transportasi yang benar. Menyalurkan kegelisahan yang benar, tidak akan menimbulkan kegelisahan yang baru. Jika menyelesaiakan masalah dengan menimbulkan masalah baru, berarti bukan pemecahan masalah. Tapi mengubah bentuk masalah. Kalau hanya mengubah bentuk, muaranya akan sama. Sama-sama gelisah walau bentuknya berbeda. Sampah plastic, sampah organic, sama-sama sampah. Tetap harus segera dilakukan pembuangan dan pemecahan. Apalagi sampah itu berupa kegelisahan. Tentu akan sangat mengerikan bagi orang yang menimbunnya. Beberapa negara hancur karena seluruh rakyatnya gelisah dan tak ada tempat untuk menumpahkan kegelisahan.

Beberapa rezim tumbang karena warganya gelisah. Jadi jangan main-main dengan energi kegelisahan. Satu kegelisahan juga bisa berbahaya. Apalagi jika seribu kegelisahan. Nah ketika kegelisahan itu memuncak tentu bukan saat yang tepat bertanya kenapa gelisah? Orang gelisah tak butuh pertanyaan.Tapi butuh jawaban bagaimana menumpahkan kegelisahan itu. Seperti juga orang ingin kencing. Mungkin masih mending orang nahan kencing, jika ketemu semak-semak atau toilet di pingir jalan selesai persoalan. Kegelisahan tak bisa dijawab dengan toilet atau semak-semak.

Kembali ke soal pementasan. Buat aku pementasan mau ditonton satu orang, dua orang atau seribu atau bahkan 20 ribu orang sama saja. Saya tetap tampil total. Saya tetap berharap dalam proses pementasan itu juga bisa memberi jawaban. Terutama buat aku dan pendengar. Bisa memberi ruang untuk proses pelepasan kegelisahan. Bisa menjadi sarana katarsis. Seperti juga aku melukis, menari, karate,olah raga atau bahkan bercinta. Dalam karate, butuh tempat atau ruang yang memadai, sehinga dengan itu aku bisa bergerak dengan leluasa. Perlu minuman segar dari buah-buahan agar jika haus bisa langsung menenggak minuman itu. Dalam melukis, perlu kanvas yang luas.Perlu cat yang dengan jumlah warna yang lengkap.

Walaupun aku lebih sering memilih warna hitam dan merah, serta hijau. Tapi harus ada. Untuk apa? Untuk memberi ketenangan juga. Agar aku melihatnya juga sebuah harmoni. Bahwa warna itu lengkap. Agar bisa mengantisipasi gerakan tak terdugaku. Yang kadang aku juga tak bisa menduga. Seperti bilah nada atau chord gitar. Walaupun tidak semua bilah nada itu aku mainkan tapi aku tahu ada banyak kunci yang siap aku mainkan. Seperti juga dalang yang memainkan wayang. Semua wayang dipajang di kelir. Walau hanya beberapa tokoh saja yang dimainkan. Dan hanya tokoh-tokoh itu terus yang selalu dimainkan.Kalau kita melihat jagat raya, betapa maha luasnya jagat raya. Ada milyaran bintang di sana dengan kerlipnya. Ada milyaran matahari. Ada milyaran planet beredar. Ada milyaran bulan. Ada milyaran debu angkasa bertebaran. Tapi kenapa kita membahas satu bumi kita saja belum selesai? Kita bicara pembakaran hutan, penebangan liar, banjir, tsunami, kesusahan, kebahagiaan, kelahiran, kematian,perampokan, korupsi semua belum selesai.

Dan semua terjadi di bumi. Dan urusan bumi belum selesai. Sementara masih ada milyaran planet yang masih perawan. Masih ada milyaran planet yang lainnya lagi yang belum diketahui keberadaannya. Kapan kita akan menyentuh planet yang lain? Kadang kita bertanya apakah Tuhan sia-sia mencipta itu semua,kalau hanya bumi yang bisa ditempati? Apakah tidak berlebihan Tuhan membuat ruang maha luas jika langkah manusia baru sampai bulan dan Mars? Butuh berapa lama lagi untuk menempuhnya? Untuk menempuh jarak dari Leuwinanggung sampai Harmoni saja bisa makan 2 jam. Itu kalau lewat jalan yang mulus dan tidak terlalu macet. Kalau jalanan macet ditambah rusak, jawabanya bisa bervariatif. Apakah nunggu gubernurnya ganti lagi, atau Harmoninya pindah ke Leuwinanggung. Bayangkan kalau harus menempuh jarak ke planet yang lain. Paling-paling terhenti di Planet Senin atau Planetarium di Cikini. Kenapa? Tentu bukan saja soal jalan yang macet. Tapi otak juga macet. Tak bisa berpikir jernih. Otaknya terhenti di selangkangan dan uang. Melihat selangkangan seperti melihat planet mars. Menaklukan selangkangan sama bangganya menaklukan bulan dengan pesawat ulang-alik. Padahal baru sampai selangkangan.

Orang bercinta juga butuh pasangan yang menggairahkan. Dicintai atau tidak dicintai yang penting harus menggairahkan. Perlu properti ranjang yang empuk., Perlu suasana yang enak. Lampu dengan cahaya yang pas. Perlu pasangan yang siap dengan berbagai permainan. Butuh tenaga yang vital. Bila perlu pakai Viagra atau Hajar Jahanam. Atau lebih dulu terapi dengan Mak Erot. Atau kalau mau mengikurti resep orang-orang tua jaman dulu, dicelup dengan T e h yang sudah basi. Konon bisa memperbesar ukuran. Asal jangan t e h sliming tea saja.Nanti bukanya besar malah mengeceil. Soalnya itu t e h untuk bikin badan langsing. He..he..he.. Nah kalau semua faktor-faktor penunjang ideal, niscaya dalam permainan itu pun akan ideal.

Sebuah pementasan buat akau seperti bercinta. Aku menumpahkan kegelisahan. Aku juga butuh ranjang yang empuk. Ranjang yang empuk dalam sebuah pementasan adalah panggung yang pas. Butuh lampu. Alat vitalnya gitar, saoundsystemnya Viagra. Lagu adalah desah nafas saat bersenggama. Nah pementasan yang akan aku ceritakan ini terjadi saat aku manggung di Istora Senayan. Tempatnya sudah oke. Tapi ranjangnya reot. Alat vitalnya oke, tapi lunglai karena nggak ada soundsystem yang bagus. Buat aku pakai viagra atau nggak aku merasa puas. Tapi pendengar yang di sana? Lawanku yang mendengar suaraku? Tentu tak merasa puas. Suara keluar kecil ,telinga seperti dikilik-kilik. Tahu-tahu selesai. Tapi sebelum bercerita secara detil tentang kejadian maha penting dalam pementasan itu, perlu sedikit pemahaman musik menurut versiku.

Official Site: www.iwanfals.co.id


More Music On: www.tamtomousic.blogspot.com

No comments: