Tahun ini adalah tahun invasi band-band dalam industri musik (pop) Indonesia. Sayangnya, sebagian besar justru terjebak dalam keseragaman. Kulminasinya adalah mencuatnya "inflasi" musik pop hingga penikmat musik mengalami kesukaran membedakan antara satu band dan band yang lain.
Hal itu mengingatkan kita pada dasawarsa 1970-an, yang juga disesaki banyaknya band setelah keran yang dibuka Koes Plus mengalir deras. Saat itu, keseragaman identitas pun terjadi, baik dari struktur penulisan lagu maupun lirik. Remy Silado sempat melontarkan kritik bahwa lagu-lagu pop (band) saat itu sarat dengan kata "mengapa" yang menteror kuping.
Tak jauh beda dengan yang terjadi belakangan ini. Simaklah lirik lagu-lagu dari selaksa band yang dijejali kata-kata "selingkuh", "kekasih gelap", "bagai bintang", "bukan pujangga".
Dan seperti yang telah terjadi, di tengah keseragaman itu toh tetap ada yang berupaya untuk mengikisnya dengan menjejalkan karya-karya yang oleh sebagian khalayak awam dianggap menyimpang. Tapi bukan tak mungkin, ketika keseragaman mencapai titik nadir, suguhan musik pengimbangnya yang kerap beroposisi bisa berubah menjadi trend-setter.
Di tengah maraknya keseragaman, menyeruaklah beberapa band yang kebetulan tercerabut dari komunitas indie, yang mencoba menawarkan konsep yang sebetulnya bukan hal baru: psychedelia pop. Konsep ini merebak di Inggris dan Amerika Serikat di paruh dasawarsa 1960-an. Tersebutlah tiga band indie, yaitu Vox, Zeke and The Popo, dan Efek Rumah Kaca, yang masing-masing baru saja merilis album debut tahun ini.
Vox, band asal Surabaya yang terdiri atas Joseph Sudiro (bas, vokal), Vega Antares Setianegra (vokal, gitar), Donnie Setiohandono (keyboard, vokal), dan Gabriel Mayo Riberu (drum, vokal), merilis album Pada Awalnya (Aksara Records). Zeke and The Popo dari Jakarta, yang terdiri atas Khaseli "Zeke" Gumelar (vokal, keyboard), Iman "Babyfaced" Putra Fattah (gitar, sound device), Leonardo "Mugeni" Ringo (gitar), Yudhi "Sideburns" Harry Noor (bas), dan Amir "Kuro" (drum), meluncurkan album Space in the Headline. Adapun Efek Rumah Kaca, yang terdiri atas Cholil (vokal, gitar), Adrian (bas), dan Akbar (drum), muncul dengan album bertajuk Efek Rumah Kaca, yang mengingatkan kita pada penemuan ilmuwan Joseph Fourier pada 1824, yaitu proses atmosfer memanaskan sebuah planet.
Tak jelas kenapa banyak band indie kini yang terpukau pada atmosfer psychedelia, genre yang condong pada gerakan kultur era 1960-an. Psychedelia adalah fenomena bawah tanah kala itu yang kemudian berubah menjadi overground, terutama setelah nama-nama sohor, seperti The Beatles, mulai menyelusupkan elemen psychedelic dalam album Revolver (1966) dan mencapai puncak dengan Sgt Pepper's Lonely Hearts Club Band (1967). Juga harmoni vokal The Beach Boys dalam album Pet Sounds (1966), yang menjadi inspirasi anak band.
Tak bisa dimungkiri kehadiran elemen psychedelic yang beratmosfer trippy atau alam bawah sadar memang banyak bergumul dalam kitaran efek bunyi-bunyian yang membalut struktur lagu yang memang diakui catchy. Jika ingin mengendus aroma psychedelic dalam sebuah lagu, dipastikan bisa dijumpai anasir seperti suara sitar, glockenspiel, fuzz guitars, efek tape, hingga backward guitar (bunyi gitar yang diputar terbalik).
Simaklah introduksi lagu Jalang, yang dibawakan Efek Rumah Kaca, yang menampilkan sebuah backward dari interlude lagunya. Tata musik kelompok ini memang jelas bermuatan anasir psychedelia, apalagi mereka rasanya juga banyak terpengaruh post-rock ataupun shoegaze, subgenre yang berakar kuat pada gerakan psychedelia 1960-an. Efek Rumah Kaca pun cukup cerdas menuliskan lirik. Misalnya, dalam lagu Di Udara, yang bertutur tentang aktivis Munir:
Kubisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Tapi aku tak pernah mati
Sebuah paparan lirik yang tak ditemui dalam rimbunnya band-band sekarang, yang hanya menyitir tema cinta yang dangkal. Bahkan trio ini pun geram dengan kondisi industri musik kita sekarang ini dalam lagu Cinta Melulu:
Nada nada yang minorVox bahkan lebih memilih tema persahabatan dalam lagu Ingatkah Pertama:
Lagu perselingkuhan
Atas nama pasar semuanya begitu klise
Ingatkah pertama kau terhentiDan Vox sangat terpukau dengan supremasi Beach Boys dan The Beatles. Simaklah nuansa lagu Pada Awalnya, yang mengingatkan kita pada Wouldn't Be Nice-nya Beach Boys (album Pet Sounds). Pada Oh Well, dengan cerdik Vox kembali menyulam aura God Only Knows-nya Beach Boys. Petikan slide gitar pada lagu ini mengingatkan kita pada jati diri George Harrison. Lalu di coda kita diberi ilusi seolah terjebak deja vu All You Need is Love-nya The Beatles dengan tumpukan bunyi-bunyian instrumen tiup yang dimainkan Indra Aziz.
Dan berjanji untuk mencoba kembali?
Lagi-lagi aura The Beatles era psychedelic tercium pada lagu Professor Komodo pada album perdana Zeke and The Popo. Kelompok ini sangat tekun menggarap musik, meski terkadang terasa agak berlebihan. Simak saja susupan tiupan saksofon Indra Aziz pada Unrescued World Supposed to Rescued World. Bahkan mereka pun memasukkan unsur orkestral pada interlude yang diarahkan Addie M.S. Sebuah komposisi yang membuat pendengar melayang kehilangan gravitasi. Kemurungan dan keterasingan ala Pink Floyd hingga Radiohead terasa di beberapa komposisi.
Tampaknya Zeke and The Popo memang telah memilih psychedelia sebagai cetak biru musikalnya. Mereka pun menorehkan tag-line pada kemasan albumnya: "an album for lonely people, and for those who are looking for loneliness".
Nah, jika Anda ingin mengasingkan diri dari cengkeraman musik pop (seragam) dari band yang jumlahnya tak terhitung itu, suguhan album dari ketiga band tersebut--Vox, Zeke and The Popo, dan Efek Rumah Kaca--layak disimak.
Sumber: Denny Sakrie, pengamat musik, Koran Tempo Minggu
No comments:
Post a Comment